Analisis Keterkaitan Pembelajaran Terpadu Terhadap DAP Menggunakan Grafik Fry

Ditulis Oleh:
Salma Aisyah¹, Silvi Putri R², Yusi Yustikasari³, Linda Rahmawati4, Neng Kiki Mutiara Akbar P5, Hesti Purwati6, Neni Nadiroti M, Risma A
Program Studi PGSD, IPI Garut

DAP (Developmentally Appropriate Practice) berperan untuk membantu guru menemukan fitrah anak, baik sebagai makhluk individu maupun kelompok, dan membantu anak menghadapi tantangannya dan mencapai prestasi yang berkontribusi pada pembelajaran dan perkembangan yang sedang berlangsung. Tujuan pembentukan karakter sejak usia dini adalah untuk membentuk kepribadian anak yang baik sehingga kelak ketika sudah dewasa menjadi pribadi yang baik dan berakhlak mulia yang dapat memberikan manfaat kepada sesama manusia dan lingkungannya. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan Pendidikan nasional. Dengan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, guru bisa mengenali kebutuhan para siswa yang berbeda-beda, kemudian merancang metode ajar yang paling efektif bagi mereka.

PENDAHULUAN
Keterbacaan adalah adalah keseluruhan unsur bacaan yang mempengaruhi keberhasilan yang dicapai se-kelompok pembaca dengan bahan tersebut. Sejatinya, keterbacaan adalah perihal yang dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimen-gerti, dipahami, diingat. Keterbacaan sering dikaitkan dengan ihwal terbaca tidaknya materi bacaan oleh pembacanya (Setio Isnoyo, dkk. 2017). Keterbacaan mempersoalkan tingkat tingkat kesulitan atau tigkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan merupakan ukuran tidak atau sesuainya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesulitan atau kemudahan wacananya. Buku tematik kurikulum 2013 Kelas III tema Permainan Tradisional. (Jakarta:Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).

METODE
Grafik Fry adalah formula keterbacaan yang dikembangkan oleh Edward Fry yang kemudian di kenal dengan grafik Fry. Harjasujana mengungkapkan bahwa grafik fry mulai dipublikasikan pada tahun 1997, dalam majalah Journal Of Reading dan grafik aslinya dibuat pada tahun 1968.

PEMBAHASAN
Menurut Peter Kline (dikutif Aprilia 2013: 10) tahapan penerapan Strategi developmentally appropriate practice adalah :

  1. Menciptakan lingkungan belajar yang dapat membuat anak asik dalam pengalaman belajar, yaitu dengan melibatkan aspek fisiologi anak.
  2. Menciptakan kurikulum yang dapat menimbulkan minat anak dan kontekstual, sehingga anak menangkap makna atau dari apa yang dipelajarinya.
  3. Menciptakan suasana belajar yang bebas tekanan dan ancaman, tetapi tetap menantang bagi anak untuk mencari tahn lebih banyak.
  4. Memberikan mata pelajaran dengan melibatkan pengalaman kongkrit, terutama dalam pemecahan masalah, karena proses belajar paling efektif bukan dengan cerama, tetapi dengan memberikan pengalaman nyata.

grafik Fry ini melibatkan dua faktor, yaitu panjang-pendeknya kali-mat dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah suku yang mem-bentuk setiap kata dalam Wacana. Menurut Harjasujana dan Yeti Mulyati, petunjuk penggunaan grafik Fry yang sudah disesuaikan dengan karakteristik bahasa Indonesia yaitu:

  • Pilih penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya dengan mengambil 100 buah perkataan.
  • Hitung jumlah kalimat dari seratus buah perkataan hingga perse-puluhan terdekat.
  • Hitunglah jumlah suku kata dari wacana sampel hingga kata ke 100.
  • Untuk wacana bahasa Indonesia, penggunaan grafik Fry masih harus ditambah satu langkah, yakni mengalikan hasil perhitungan suku kata dengan 0,6. Karena itu angka 228 x 0,6 = 136,8 dibulatkan menjadi 137 suku kata.
  • Plotkan angka-angka kedalam grafik Fry. Kolom tegak lurus menun-jukkan jumlah suku kata perseratus kata dan baris mendatar menunjuk-kan jumlah kalimat perseratus kata.

Harjasujana juga menjelaskan bahwa tingkat keterbacaan ini bersifat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi, baik keatas maupun kebawah. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wa-cana hendaknya ditambah satu tingkat dan dikurangi satu tingkat. Euis Ananih, Nesa Nuthasanah. 2016.”Tingkat Keterbacaan Wacana Pada Buku Paket Kurikulum 2013 Kelas 4 Sekolah Dasar.

HASIL ANALISIS


Pada tema I menurut grafik fry buku siswa tematik terpadu kelas 1 tidak sesuai untuk siswa level kelas 1, tetapi lebih sesuai di kelas 2 karena menurut hasil perhitungan kedua sampel yang di plotkan kedalam grafik Fry menunjuk-kan kesesuaian level tingkat keter-bacaan dikelas 2.

Pada tema 2 menurut grafik fry buku siswa tematik terpadu kelas 1 ada yang sesuai untuk siswa level kelas 1, tetapi ada yang sesuai di kelas 2 juga karena menurut hasil perhitungan kedua sampel yang di plotkan kedalam grafik Fry menunjuk-kan kesesuaian level tingkat keter-bacaan di kelas 1 dan 2.

KESIMPULAN DAN SARAN
Indikator keterbacaan suatu teks bukan dialog atau buku adalah keterbacaan masing-masing paragraphnya. Untuk dapat memahami suatu teks perlu pemahaman yang utuh dari masing-masing paragraf pembentuk teks. Rumit atau tidaknya suatu gagasan yang akan dikomunikasikan oleh suatu teks dapat dilihat dari cacah paragrafnya. Teks yang terdiri dari banyak paragraf memiliki gagasan utama yang tidak sederhana sehingga memerlukan tahapan-tahapan berfikir yang masing-masing tertuang dalam bentuk paragraf. Dengan demikian, cacah paragraf suatu teks menunjukkan cacah pokok pikiran dan atau subpokok pikiran yang digunakan oleh penulis untuk mengkomunikasikannya kepada pembaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!