Pemahaman Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia Bagian 2
Periode Pembangunan Bangsa dan NKRI
Periode Pembangunan Bangsa Indonesia dan NKRI ditandai oleh lahirnya Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia yang merupakan fondasi membangun bangsa dan NKRI, serta perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah setelah proklamasi kemerdekaan, dari serangan kaum penjajah yang belum rela melepas wilayah Indonesia menjadi negara yang berdaulat.
1. Lahirnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945
a. Pancasila
Lahirnya Pancasila adalah judul pidato yang disampaikan oleh Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidato inilah konsep dan rumusan awal “Pancasila” pertama kali dikemukakan oleh Soekarno sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Pidato ini pada awalnya disampaikan oleh Soekarno secara aklamasi tanpa judul dan baru mendapat sebutan “Lahirnya Pancasila” oleh mantan Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantar buku yang berisi pidato yang kemudian dibukukan oleh BPUPKI. Lahir di gedung
Volksraad (Perwakilan Rakyat), sekarang Gedung Pancasila, di jalan Pejambon 6 Jakarta.
Konsep rumusan Pancasila yang disusun berdasarkan pengalaman yang dihadapi oleh para pendahulu dalam mensolusi perbedaan dari keragaman bangsa Indonesia, hingga mereka berhasil memproklamirkan kemerdekaan bangsa dan negara republik Indonesia. Pancasila dihayati dan disepakati bersama merupakan dasar yang kuat, sebagai alat pemersatu bangsa, untuk mempertahankan dan menumbuh-kembangkan bangsa dan NKRI dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman dari perubahan jaman dari masa ke masa atau dari era ke era.
b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Tahapan penetapan UUD NRI 1945, berangkat dari pidato tentang Pancasila yang ketika itu tidak dipersiapkan secara tertulis, terlebih dahulu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Junbi Cosakai (BPUPKI). Selanjutnya dibentuk Panitia Kecil dikenal dengan Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin) yang ditugaskan untuk menyempurnakan rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara, berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setelah melalui proses persidangan dan lobi-lobi, akhirnya rumusan Pancasila hasil penggalian Bung Karno tersebut berhasil disusun untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945. Rumusan tersebut dirancang dalamPiagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945, dan dinyatakan sah sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Kemudian disusunlah kelengkapan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
2. Era Awal Kemerdekaan Republik Indonesia
Ketika proklamasi mulai dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 ke seluruh warga negara Indonesia, itulah saatnya Bangsa Indonesia hadir sebagai dirinya sendiri, lepas dari kungkungan penjajah. Namun bangsa Indonesia tidak serta merta langsung bisa membangun negara dengan bebas, karena masih harus menghadapi berbagai tantangan dan ancaman yang masih harus terus-menerus diperjuangkan.
Perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, dan kedaulatan negara, sebagai negara kesatuan yang memiliki penduduk permanen, wilayah yang tetap, dan memiliki pemerintahan yang tidak tergantung pada kekuatan negara lain, serta memiliki kapasitas untuk masuk ke dalam hubungan dengan negara-negara lain, dilakukan melalui berbagai upaya pantang menyerah, yang didukung oleh kebulatan tekad seluruh warga negara. Hal ini dapat dipelajari antara lain melalui berbagai peristiwa sebagai berikut:
a. Melakukan pertempuran secara fisik melawan Sekutu dan Netherland Indies
Civil Administration (NICA) diantaranya:
1) Pertempuran Lima Hari di Semarang, adalah serangkaian pertempuran antara rakyat Indonesia melawan tentara Jepang di Semarang pada masa transisi kekuasaan ke Belanda yang terjadi pada tanggal 15 –19 Oktober 1945. Dua penyebab utama pertempuran ini adalah karena larinya tentara Jepang yang dilucuti oleh TKR, dan tewasnya dr. Kariadi.
2) Peristiwa 10 November 1945, di daerah Surabaya dan sekitarnya, melawan sekutu yang mengerahkan pasukan Republik dengan senjata-senjata berat. Peristiwa ini berlangsung tiga minggu (27 Oktober – 20 November), dimana Bung Tomo secara terus-menerus membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk membulatkan tekad perjuangan mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia, melalui siaran radio. Peristiwa yang memakan banyak korban dari bangsa Indonesia ini diperingati sebagai Hari Pahlawan hingga saat ini.
3) Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya,T TentaraKeamanan Rakyat (TKR), angkatan perang pertama yang dibentuk pemerintah Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1945, melawan pasukan sekutu yang diboncengi NICA. Pertempuran di Ambarawa mulai tanggal 12 Desember 1945, berlangsung selama 4 hari yang akhirnya TKR berhasil mengusir tentara sekutu dari Ambarawa.
4) Pertempuran Medan Area, di daerah Medan dan sekitarnya. Para pemuda Indonesia membentuk TKR Medan, melawan dan mengusir pasukan Sekutu yang diboncengi NICA. Pertempuran berlangsung cukup lama mulai 9 Oktober 1945 – 15 Februari 1947. Peristiwa kepahlawanan ini dikenal sebagai pertempuran “Medan Area”, di Sumatera Utara.
5) Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya. Berawal dari perintah tentara sekutu untuk menyerahkan senjata yang dikumpulkan oleh TKR, hasil melucuti senjata tentara Jepang, serta Belanda mengultimatum agar TKR segera meninggalkan atau mengosongkan Bandung pada tanggal 23 Maret 1946. Para pejuang akhirnya meninggalkan Bandung, tetapi terlebih dahulu membumi-hanguskan kota Bandung atas perintah Kolonel A.H. Nasution. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
6) Pertempuran Margarana, di Bali pada 20 November 1946. TKR yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai bertempur melawan tentara Belanda (NICA) yang kembali datang setelah kekalahan Jepang, untuk menguasai kembali wilayahnya yang direbut Jepang pada Perang Dunia II Perang di era awal kemerdekaan yang mengakibatkan Belanda berhasil mendirikan Negara Indonesia Timur.
7) Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang, yang terjadi dari
tanggal 1 hingga 5 Januari 1947, melawan pasukan Belanda. Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang tiga matra yang pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang tersebut terjadi melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara.
8) Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, di berbagai wilayah Jawa
Tengah dan Jawa Timur, yang pantang menyerah mengusir kaum penjajah.
b. Memindahkan ibukota dari Jakarta (Batavia saat itu) pada tanggal 4 Januari 1946 ke Yogyakarta. Yogyakarta Darurat Perang Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 membuat Yogyakarta terguncang. Soekarno, Hatta, dan sejumlah pejabat tinggi RI lainnya ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa. Ibu kota Indonesia pun pindah lagi, kali ini ke Bukittinggi, berkat peran Syafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan yang membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Audrey R. Kahin dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005) menyebut bahwa PDRI memainkan peranan penting dan menjamin perjuangan melawan Belanda tetap dipimpin oleh pemerintahan sah yang diakui oleh kaum republik di seluruh Indonesia.
c. Merubah sistem pemerintahan di tahun 1946, dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer. Sistem presidensial, Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, memegang kekuasaan eksekutif dan dipilih secara langsung oleh rakyat. Kabinet dibentuk oleh Presiden, merupakan hak prerogatif Presiden untuk mengangkat maupun memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen/nondepartemen. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan juga sebagai lembaga perwakilan. Sedangkan sistem parlementer, Parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat Perdana Menteri, dan dapat menjatuhkan pemerintahan melalui cara semacam mosi tidak percaya. Dalam sistem parlementer dapat memiliki seorang Presiden dan seorang Perdana Menteri yang berwenang menjalankan roda pemerintahan, namun disini Presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja. Perubahan sistem ini atas campur tangan pemerintah Belanda, yang ditujukan agar memungkinkan kelancaran terwujudnya berbagai perundingan untuk kepentingan Belanda di Indonesia terkait wilayah NKRI dan sebagainya. Karena Belanda merasa tidak mungkin berunding dengan Presiden Ir. Soekarno pada saat itu. Pihak Indonesia menyetujui perubahan sistem dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia sebagai negara berdaulat.
d. Berbagai perjanjian juga dilakukan oleh para pendahulu untuk mempertahankan dan memperjuangkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, di antaranya:
1) Perjanjian Linggarjati, 15 November 1946, yang isinya antara lain:
a) Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang mencakup: Sumatera, Jawa dan Madura, dan Belanda harus meninggalkan daerah itu paling lambat 1 Januari 1949.
b) Belanda bekerjasama dengan Republik Indonesia membangun Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat(RIS), yang anggotanya terdiri dari: Republik Indonesia, Kalimantan dan Timur Raya.
c) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membangun Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai Ketuanya. Meskipun akhirnya perjanjian ini ditandatangani namun sebagian komponen bangsa menolaknya, sehingga terjadi banyak kekacauan dan
pertempuran di Jawa dan Sumatera yang mengakibatkan praktek perjanjian tersebut sulit diterapkan.
2) Perjanjian Renville. Agresi Militer I pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda, yang menimbulkan kecaman dunia internasional terhadap Belanda, telah mendorong Belanda kembali berunding dengan pemerintah Republik Indonesia. Perundingan dibangun di atas sebuh kapal perang Amerika Serikat bernama “Renville” yang membuang sauh di Teluk Jakarta, yang ditandatangai pada tanggal 29 Januari 1948. Isi persetujuan Renville antara lain:
a) Diterimanya tuntutan pihak Belanda, supaya pemerintah Indonesia menarik pasukan bersenjata yang bergerilya dan aparat pemerintahan darurat Indonesia di kawasan pendudukan Belanda.
b) Akibatnya, luas kawasan kekuasaan Indonesia semakin sedikit, hanya meliputi kawasan istimewa Yogyakarta, Surakarta, Kediri, Kedu, Madiun, beberapa dari keresidenan Semarang, Pekalongan, Tegal bagian selatan dan Banyumas.Perjanjian ini sangat merugikan bangsa Indonesia serta menimbulkan kemarahan bangsa Indonesia.
3) Perjanjian Roem Royen. Agresi Militer II Belanda pada 19 Desember 1948 yang diawali serangan terhadap Yogyakarta, ibukota Indonesia saat itu, disertai penangkapan Soekarno, Moh. Hatta dan Sjahrir serta beberapa tokoh lainnya, telah mendorong perlawanan dari bangsa Indonesia. Atas instruksi Panglima Besar Soedirman, tentara rakyat Indonesia melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949, yang berhasil merebut kembali kota Yogyakarta selama 6 jam. Serangan ini bertujuan untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa tentara nasional Indonesia masih ada dan cukup kuat. Sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB. Dampak dari Serangan Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda. Akhirnya dengan terpaksa pihak Belanda yang diwakili oleh Herman van Royen bersedia untuk kembali berunding dengan pihak Indonesia yang diwakili oleh Mohammad Roem, menyepakati perjanjian Roem Royen yang ditandatangani pada 7 Mei 1949 bertempat di Hotel Des Indes Jakarta, yang berisi antara lain:
a) Tentara nasional Indonesia harus menghentikan semua aktivitas
gerilya.
b) Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda pada tanggal 23 Agustus – 2 November 1949, yang menghasilkan kesepakatan antara lain :
Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat Mengembalikan pemerintahan Republik Indonesia ke
Yogyakarta Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda.
Langkah yang dilakukan bersama pada awal kemerdekaan untuk satu tujuan
bersama mencapai negara Indonesia yang adil dan makmur, seperti yang termaktub dalam “Pembukaan UUD 1945 yang antara lain menyatakan…” mencerdaskan kehidupan bangsa”, hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal para pendiri negara ini telah memikirkan betapa pentingnya peran pendidikan dalam upaya mencerdaskan bangsa. Sebagai Menteri Pengajaran Republik Indonesia yang pertama, Ki Hadjar Dewantara, mengawali kepemimpinannya melalui instruksi umum kepada sekolah dan guru yang berisi:
a. Pengibaran Sang Merah Putih setiap hari di halaman sekolah.
b. Melagukan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
c. Menghentikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskan lagu Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang).
d. Menginstruksikan untuk memberi semangat kebangsaan pada semua murid. Selain itu Ki Hadjar Dewantara juga mencanangkan 3 (tiga) tonggak pembangunan pendidikan dan kebudayaan pada sistem pendidikan Indonesia, yaitu:
a. Pemutusan mata rantai sistem pendidikan buatan kolonial yang telah
berlangsung lama yang dianggap sangat diskriminatif, intelektualistik dan
materialistik.
b. Pelaksanaan sistem pendidikan nasional yang dasar-dasarnya berasal dari kepribadian bangsa, yang mengacu pada semboyan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karsa, tut wuri handayani”.
c. Pembangunan kebudayaan nasional Indonesia yang bertopang pada prinsip
pelestarian budaya melalui kinerja, perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Kemudian Mr. M. Soewandi, Menteri Pengajaran Keempat yang bertugas mulai tanggal 2 Oktober 1946, menetapkan 3 (tiga) hal penting yaitu:
a. Menyusun Rencana Pelajaran Sekolah Rakyat dengan membentuk Panitia
Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantara,
yang bertujuan mendidik warga negara sejati, sedia menyumbangkan tenaga
dan pikiran untuk warga negara dan masyarakat. Formulasi pendidikan ketika itu lebih menekankan pada aspek penanaman semangat patriotisme.
Kurikulum 1947, merupakan kurikulum pertama Indonesia, dikenal dengan Leer
Plan atau Rencana Pelajaran, murni berorientasi pada kepentingan bangsa
sendiri, landasan idiil Pancasila dan dasar konstitusi pendidikan nasional UUD 1945. Kurikulum yang berisikan pedoman bagi guru yang memuat sifat-sifat kemanusiaan dan kewarganegaraan sebagai dasar pendidikan dan pengajaran nasional. Sifat-sifat kemanusiaan itu adalah:
1) Perasaan cinta kepada alam.
2) Perasaan cinta kepada negara.
3) Perasaan cinta dan hormat kepada ibu dan bapak.
4) Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan nasional.
5) Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut
pembawaan dan kekuatannya.
6) Keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keluarga dan masyarakat.
7) Keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang harus tunduk pada tata
tertib.
8) Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama harganya, sebab itu
hubungan sesama masyarakat harus bersifat hormat-menghormati,
berdasarkan atas rasa keadilan, dengan berpegang teguh atas harga diri
sendiri.
9) Keyakinan bahwa negara memerlukan warga negara yang rajin bekerja,
tahu pada kewajibannya, jujur dalam pikiran dan tindakannya.
b. Memperjuangkan perubahan ejaan bahasa Indonesia yang dikenal dengan
ejaan Soewandi atau ejaan Republik.
c. Meningkatkan lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan fasilitas belajar bagi rakyat Indonesia.
Selanjutnya, Mr. Ali Sastroamidjojo, Menteri PP dan K pada kabinet Hatta I, selaing merumuskan Undang-undang Pendidikan yang pertama juga menggalang “Gerakan Pemberantasan Buta Huruf” di seluruh Indonesia, yang penting dalam mewujudkan kecerdasan kehidupan berbangsa.
3. Era Indonesia Serikat (1950 – 1959)
Sejak 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950, sebagai hasil dari perjanjian Linggarjati.Era Indonesia Serikat yang ditandai dengan sistem multipartai memang mampu menyelenggarakan pemilihan umum yang demokratis, namun sistem ini ternyata tidak mampu menghadirkan stabilitas politik. Era ini juga dikenal dengan era demokrasi liberal. Sejarah mencatat selama masa demokrasi liberal, dalam kurun waktu sembilan tahun telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet yaitu:
a. 1950-1951: Kabinet Natsir
b. 1951-1952: Kabinet Sukirman Suwiryo
c. 1952-1953: Kabinet Wilopo
d. 1953-1955: Kabinet Ali Sastroamidjojo I
e. 1955-1956: Kabinet Burhanuddin Harahap
f. 1956-1957: Kabinet Ali Sastroamidjojo II
g. 1957-1959: Kabinet Djuanda
Peristiwa-peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah yang dapat diambil sebagai pelajaran, antara lain:
a. Masa Kabinet Natsir, ketika Dr. Bahder Djohan menjabat sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K), ada dua sifat terpenting
dari pendidikan dan pengajaran yang dinaungi oleh payung hukum UU Pokok
Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950,20 yaitu:
1) Bersifat “nasional”, berarti pendidikan dan pengajaran diselenggarakan berdasarkan atas kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan sendiri menjadi kesadaran yang merupakan “perisai” terhadap bahaya cultural bondage paska perang, bahaya budaya penjajahan yang pernah dialami bangsa Indonesia dalam zaman kolonial. Cultural Boundage Syndrome merupakan penyakit penyimpangan perilaku yang mungkin tidak diketahui dokter seperti misalnya: kaget berlebihan tak terkendali, latah, tiba-tiba ngamuk hingga terkadang sampai membunuh.
Oleh karena itu pelajaran “Sejarah Indonesia” tentang kejayaan bangsa
menjadi pengajaran yang sangat penting demi membangun kepercayaan diri dan patriotism. Selain itu, juga diberikan pengajaran kesenian dan bahasa nasional-bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pengantar wajib di semua sekolah.
2) Bersifat “demokrasi”, siswa yang dididik di sekolah-sekolah secara
dimokratis diharapkan akan lahir generasi penerus yang demokratis pula.
b. Masa Kabinet Sukiman, ketika Mr. KRMT Wongsonegoro menjabat sebagai Menteri PP dan K bersama Menteri Agama K.H.A Wahid Hasyim mewajibkan seluruh pendidikan sekolah rendah dan menengah memasukkan mata pelajaran “Agama”. Hal ini sebagai upaya membangun karakter bangsa.
c. Masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I, ketika Muhammad Yamin menjabat sebagai Menteri PP dan K, memberi “beasiswa” kepada para pemuda yang ingin belajar di luar negeri. Pada saat itu juga diberikan beasiswa dan ikatan dinas untuk bekerja pada kantor-kantor pemerintah kepada para pelajar yang ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Kabinet Djuanda selesai sesudah Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang menandai berakhirnya demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang kemudian digantikan dengan demokrasi terpimpin. Pelaksanaan sistem demokrasi terpimpin antara lain didasarkan pada isi pidato Presiden pada 17 Agustus 1959 yang dikenal sebagai Manipol-USDEK yang merupakan singkatan Manifesto Politik – UUD 1945, Sosialisasi Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
4. Tokoh inspiratif di Periode Pembangunan Bangsa dan NKRI
Pengertian inspiratif adalah segala sesuatu yang bisa memberikan inspirasi dan dorongan untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain inspiratif adalah sesuatu hal yang bisa memberikan pengaruh berupa semangat dan kekuatan atau membuat sesuatu. Pengertian inspiratif dalam sejarah yang dilakukan oleh tokoh merupakan cerita maupun kisah masa lalu yang bisa menginspirasi seseorang untuk melakukan hal yang sama terutama hal-hal yang menyangkut keberhasilan dan kesuksesan tokoh-tokoh tersebut.
Pada periode pembangunan bangsa Indonesia dan NKRI, dari tahun 1945 – 1959, banyak tokoh-tokoh yang memiliki profil karakter yang layak dijadikan sumber inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya, antara lain :
a. Bung Karno, tokoh inspiratif yang memiliki kharisma yang sangat kuat untuk mempengaruhi pengikutnya, rakyat Indonesia, untuk melakukan perjuangan meraih kemerdekaan Republik Indonesia. Bung Karno seorang pemimpin yang tegas, cerdas, visioner, tidak pernah takut dan pantang menyerah dalam memperjuangkan impiannya demi kepentingan rakyat Indonesia. Sosok pemimpin yang humble atau hangat serta sederhana. Bung Karno melakukan banyak sekali terobosan-terobosan penting yang dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia.
b. Bung Hatta, yang memberi contoh hidup sederhana. Berkat jasa beliau dan
pejuang lainnya, pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Pada dasarnya beliau
adalah tokoh yang sangat sederhana dan hidup sesuai dengan kemampuannya. Beliau tidak mau meminta sesuatu dari orang lain untuk kepentingan sendiri karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri.
c. Jenderal Besar Soedirman, memimpin perang gerilya dari atas tandu. Beliau berpindah-pindah selama tujuh bulan dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Sikap dan perilaku beliau yang pantang menyerah, ulet, dan rela berkorban untuk bangsa dan negara, dalam semangat membela negara.
d. Jenderal Besar A.H. Nasution, adalah salah satu dari tiga jenderal yang
berpangkat bintang lima di Indonesia yang diperhitungkan pengalamannya
dalam mengatur strategi melalui perang gerilya. Tentara sangat memerlukan
dukungan rakyat. Dari pemikiran itulah, lahir gagasan tentang perang gerilya
sebagai bentuk perang rakyat (perang semesta). Maka tak heran, Nasution
dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya melawan kolonialisme Belanda.
Konsep perang gerilya kemudian dituangkan dalam sebuah buku yang berjugul “Fundamentals of Guerilla Warfare”, Buku Strategi Militer Karya Jenderal Nasution yang mendunia dan fenomenal. Buku ini menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk di sekolah elite bagi militer dunia, West Point milik Amerika Serikat.
e. Tjilik Riwut, Pahlawan Nasional dari Dayak. “.. petehku: Isen Mulang!, Ela
sampai tempun petak manana sare, tempun kajang babisa puat, tempun uyah batawah belai ..”. Artinya,”.. pesanku: Pantang Mundur, Jangan sampai yang punya tanah berladang di pinggir, yang punya penutup basah harta miliknya, yang punya garam hambar di rasa ..”. Sebagai putera Kalimantan, Tjilik Riwut mendapat tugas untuk menggalang kekuatan masyarakat suku Dayak pedalaman Kalimantan untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan di Jakarta. Bersama teman-teman yang lain, ia memasuki pedalaman Kalimantan. Banyak pengorbanan yang harus dialami, dan bahayapun selalu mengancam keselamatannya. Namun, berbekal keyakinan teguh akan cita-cita kemerdekaan bangsanya ia laksanakan seluruh tugas itu tanpa kenal menyerah. Kegigihan, kecintaannya kepada tanah air serta kerelaannya berkorban untuk bangsa dan negara patut diteladani oleh generasi sekarang.
f. Marsekal Muda Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Sp.F., yang berjuang dari Ruang Kelas sampai Lapangan Terbang. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan “karbol” dari bahasa belanda Krullebol yang artinya berambut keriting. Di angkatan udara, Pak Karbol bersama dengan prajurit penerbang lainnya berupaya menegakkan sendi pertahanan udara negeri ini. Salah satu usahanya
adalah dengan menjalin hubungan dengan negara lain. Beliau aktif memimpin perkumpulan Vereniging voor Ooterse Radio Omroep (VORD) sebuah perkumpulan dalam bidang radio. Sesudah kemerdekaan, ia menyiapkan sebuah pemancar yang dinamakan Siaran Radio Indonesia Merdeka. Ia juga berperan dalam mendirikan Radio Republik Indonesia.
g. Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Bangsawan pejuang yang demokratis.
Wawasan kebangsaan Hamengku Buwono IX juga terlihat dari sikap tegasnya yang mendukung Republik Indonesia dengan sangat konsekuen.
h. Sjafruddin Prawiranegara. Sjafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. PDRI ada demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya karena kekosongan pimpinan yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara. PDRI mampu mengendalikan negara meski dilakukan bergerilya dari satu tempat ke lain.
i. Ir. H. Juanda Kartawidjaja. Sebagai Perdana Menteri, beliau memprakarsai
musyawarah nasional (munas) yang berusaha untuk menormalisasi keadaan
dan menegakkan keutuhan Negara Republik Indonesia. Beliau mencanangkan “Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957, yang berbunyi “Segala perairan di sekeliling dan diantara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia”. Deklarasi Djuanda merupakan suatu wawasan nusantara yang dimaknai sebagai upaya mempersatukan wilayah nusantara, yang menjadi tanggung jawab setiap generasi untuk mempertahankannya.
j. Nurtanio Pringgoadisurjo. Perintis industri dirgantara nasional. Nurtanio
merancang berbagai jenis pesawat terbang diantaranya pesawat terbang tempur “si Kumbang”, pesawat terbang latih “Belalang”, yang dikembangkan tanpa dukungan dana dari pemerintah saat itu. Namun Nurtanio dapat mewujudkan karya besar itu berkat tekad yang berangkat dari jiwa patriotisme, tak kenal lelah, dan dilakukan tanpa pamrih.
k. K.H. Ahmad Dahlan. Pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Ia bergabung sebagai anggota Boedi Oetomo yang merupakan organisasi kepemudaan pertama di Indonesia. Ia adalah sosok pemuda pembaharu yang sangat mengedepankan kepentingan idealisme dalam hidupnya terutama dalam bidang pendidikan. Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat. Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat.
l. K.H. Hasyim Al Asy’ari. Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri
membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah Belanda. Prinsip hidup beliau, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.
m. Franz Magnis Suseno. Seorang pastor Katolik yang akrab disapa Romo Magnis. Pemuka agama yang memiliki pandangan kebangsaan yang mendalam. Salah satu sumbangsihnya dalam budaya Indonesia adalah menulis buku yang berjudul “Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan”.
Sumber : Modul PKBN SERI 1 Wajib Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia Dalam Gerakan Nasional Bela Negara yang di keluarkan oleh Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan RI.
Ditulis ulang oleh : Cepi Gantina