Moratorium Penebangan dan Kearifan Lokal Sunda: Arah Baru Kebijakan Lingkungan Jawa Barat

“Hutan tidak bersuara saat ditebang, tapi anak cucu kita yang akan menangis saat air tak lagi menemukan jalannya.”

Garut || Meningkatnya intensitas banjir, longsor, dan kerusakan daerah aliran sungai dalam beberapa tahun terakhir mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam hal ini Kang Dedi Mulyadi (KDM) mengambil langkah tegas. Kebijakan moratorium penebangan pohon di kawasan hutan dan areal penggunaan lain menjadi salah satu instrumen untuk menekan laju degradasi lingkungan dan mengurangi risiko bencana.

Kebijakan tersebut tidak berdiri di ruang hampa. Ia disandingkan dengan nilai-nilai kearifan lokal Sunda yang selama ini kerap digaungkan dalam berbagai forum oleh tokoh-tokoh pemerintahan daerah. Salah satu prinsip utama yang kembali diangkat adalah filosofi “leuweung kudu dijaga, cai kudu dipiara”, yang menekankan pentingnya menjaga hutan sebagai sumber air dan kehidupan.

Dalam pandangan budaya Sunda, alam tidak diposisikan sebagai sumber eksploitasi tanpa batas. Hutan berfungsi sebagai “ibu” yang menyimpan dan mengatur air, gunung dipandang sebagai penyangga kehidupan, dan sungai dianggap urat nadi yang harus dijaga kebersihannya. Nilai-nilai ini kini diintegrasikan ke dalam pendekatan kebijakan publik, agar pembangunan tidak memutus hubungan harmonis antara manusia dan alam.

Moratorium penebangan tidak hanya diarahkan pada kawasan hutan produksi, tetapi juga menyasar wilayah dengan kemiringan ekstrem, daerah tangkapan air, serta kawasan yang sedang mengalami tekanan ali fungsi lahan. Tujuan utamanya adalah mengembalikan fungsi ekologis lahan yang selama ini terdegradasi dan memperkuat ketahanan lingkungan di wilayah hulu.

Implementasi kebijakan tersebut juga terlihat melalui langkah-langkah penertiban di lapangan, termasuk pembongkaran bangunan yang berdiri di kawasan rawan bencana dan sempadan sungai. Dalam tradisi Sunda, tindakan semacam ini dikenal sebagai bagian dari “ngaajén alam”, yakni memberi penghormatan terhadap alam dengan tidak melampaui batas-batas yang telah digariskan.

Para pemangku kepentingan di daerah didorong untuk menjadikan kearifan lokal bukan sekadar jargon budaya, melainkan sebagai pedoman nyata dalam penyusunan tata ruang dan pemberian izin pemanfaatan lahan. Dengan demikian, pembangunan dapat berjalan tanpa mengorbankan fungsi-fungsi dasar lingkungan.

Moratorium penebangan dan penguatan kearifan lokal Sunda menjadi satu kesatuan arah kebijakan di Jawa Barat: menjadikan alam sebagai mitra kehidupan, bukan korban pembangunan. Jika konsistensi ini terjaga, maka upaya pencegahan bencana tidak hanya bertumpu pada reaksi darurat, tetapi pada kesadaran kolektif untuk hidup selaras dengan alam.

Ditulis oleh : Cepi Gantina

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!