Lintasan Sejarah dan Babak Baru Pesantren Cipari Garut

PORTALBELANEGARA.COM | Garut – Pesantren Cipari pada hakekatnya merupakan kelanjutan dari pesantren Cidewa dan Cilame yang berdiri sejak tahun 1873 di bawah asuhan Abkaim, KH. Syamsudin, KH Abdullah, dan KH. Hasan. Pada tahun 1984 kegiatan kedua pesantren tersebut mengalami kevakuman karena kondisinya tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan kegiatannya antara lain karena sebagian pendirinya seperti Rewi meninggal dunia dan sebagian lagi seperti Sidik bermukim di tanah suci entahlah menjalankan ibadah haji.

Pada tahun 1895 atas prakarsa putra KH. Syamsudin yaitu KH. Harmaen, dengan dibantu oleh saudara-saudaranya yaitu KH. Ahmad Kisya dan KH. Ahmad Zaeni, dibuka kembali pesantren baru yang mengambil lokasi kampung Cipari, kira-kira 200 M sebelah barat daya pesantren Cilame. Sesuai dengan nama daerah tersebut, maka pesantren ini pun bernama pesantren Cipari.

Cipari dijadikan lokasi pesantren, karena daerah ini dianggap sangat memungkinkan menurut ukuran pada waktu itu, yakni daerah subur dan mata airnya banyak terdapat sekitar itu. Dengan meningkatnya jumlah santri telah menambah beban pembina yang sekaligus menjadi donatur pada waktu itu diantaranya: KH. Zakaria, KH. Adrai, KH. Abdullah, KH. Abdul Fatah, KH. Sarbini, dan KH. Bakri. Mereka adalah orang-orang kaya dan ulama yang terkenal pada saat itu.

Semakin banyaknya para santri dari luar daerah yang berminat belajar ilmu agama di pesantren Cipari. Maka pesantren Cipari menjadi terkenal dan ramai dengan berbagai kegiatan. Tidak hanya ramai dengan kegiatan agama dan sosial juga ramai dengan kegiatan ekonomi. Sehingga para pedagang tidak hanya berdatangan dari daerah sekitar, melainkan ada yang datang dari luar jawa. Dengan terdapat stasiun kereta api Cibatu yang menghubungkan Jawa Tengah dengan Jawa Barat bagian Timur. Sehingga memungkinkan membawa informasi yang sangat cepat baik informasi yang masuk ke Cipari maupun informasi tentang perkembangan pesantren Cipari. Misalnya informasi mengenai terbentuknya organisasi Serikat Dagang Islam (SDI) di Solo, beritanya dengan cepat masuk ke pesantren Cipari, berita ini cukup menarik dan mendorong minat para ulama Cipari untuk mempelajarinya.

SDI pada waktu itu menyusun undang undang dasar dan keorganisasiannya dibantu oleh seorang pelajar Indonesia yang bekerja pada perusahaan dagang di Surabaya, ia adalah Oemar Said Tjokroaminoto. Kemudian HOS Tjokroaminoto agar organisasi tidak terbatas golongan pedagang saja, melainkan lebih diperluas kepada konsep Nasional. Oleh karena itu kata dagang dihapuskan, sehingga menjadi Serikat Islam (SI) yang ditetapkan pada tanggal 10 September 1912.

Berubahnya SDI ke SI kemudian merambat pula ke pesantren Cipari, sehingga pada tahun 1914 secara resmi berdiri cabang SI di Cipari di bawah pimpinan KH. Adrai sebagai ketua dan Ny Hj Mutiah (istri KH Harmaen) sebagai ketua muslimat.

Dengan masuknya tokoh-tokoh pesantren Cipari kedalam organisasi ini, sehingga tokoh-tokoh tersebut menggunakan organisasi itu sebagai penyaluran kesadaran politik terhadap penjajah Belanda yang telah lama tumbuh, walaupun pada saat itu SI bukan bagian dari partai politik.

Meningkatnya kesadaran politik dikalangan para ulama dan santri dilingkungan pesantren Cipari, telah menyadarkan pemerintah Hindia Belanda akan bahaya perlawanan santri terhadap pemerintah. Sehingga pada saat itu pesantren Cipari mulai diawasi pemerintah Hindia Belanda secara ketat terutama pada setiap pengajian untuk umum dan pada saat kehadiran tokoh SI.

Polisi keamanan pemerintah Hindia Belanda selalu hadir dan siap menghentikan para pembicara yang menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Namun hal itu tidak menyulitkan keberanian yang diperlihatkan oleh KH. Adra’i dan KH. Zakaria yang justru semakin meyakinkan para santri dan masyarakat sehingga semakin lama yang mengikuti pengajian semakin bertambah.

Dalam kurun waktu 13 tahun, yaitu pada bulan januari 1927 diadakan kongres SI di Garut. Karena pada waktu itu Cipari (Garut) menempati anggota SI terbesar ke 2 setelah Manado. Pada kongres di Garut terjadilah perubahan nama menjadi PSI (Partai Syarikat Islam) sehingga pada kongres itu SI resmi menjadi sebuah partai, dengan mengusung tujuan partai “Mencapai Kemerdekaan Nasional Atas Dasar Agama Islam”, dan tidak selang lama pada tahun 1929 nama PSI disempurnakan menjadi PSII.

Pada saat itu tampil lah tokoh muda putra dari KH. Harmaen (suami Hj Mutiah) tokoh muda tersebut KH Abdul Kudus, KH Yusuf Tauzirie dan keponakannya KH. Bustomi. Ketiga tokoh tersebut mulai menonjol namanya di masyarakat, terutama KH Abdul Kudus dan KH Yusuf Taudzir, ketiga tokoh ini mendapat gemblengan selain dari orang tuanya sendiri juga dari tokoh lain seperti KH. Adrai dan KH. Zakaria.

Akibat dari perkembangan organisasi politik PSII yang demikian pesat, ditambah dengan masalah pendirian sekolah pada tahun 1933 itu, KH. Yusuf Tauziri ditangkap oleh pemerintah belanda dan di penjara di talun Garut, ia ditahan dalam sebuah kamar yang dikelilingi oleh balokan es. Selama dalam tahanan itu banyak masyarakat pendukungnya berdatangan untuk menengoknya, hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah Hindia Belanda untuk cepat-cepat membebaskan KH. Yusuf Tauzirie.

Dengan demikian KH. Yusuf Tauzirie masuk dan keluar penjara tanpa proses pengadilan (tanpa prosedur hukum). Ia dipenjara selama 40 hari jadi dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda menangkap KH. Yusuf Tauzirie hanya bermaksud memberikan efek psikologis terhadap tokoh-tokoh dan masyarakat yang berkecimpung dalam hal organisasi politik agar menghentikan kegiatannya. Kenyataanya tidak demikian KH. Yusuf Tauzirie setelah kembali lagi ke masyarakat tetap sebagaimana biasanya memimpin organisasi politik PSII cabang Wanaraja.

Sehubungan dengan berkembangnya kembali pesantren Cipari dan kegiatan kepartaian maka pada tahun 1933 KH. Harmaen (ayah KH. Yusuf Tauzirie) mendirikan mesjid dan madrasah diniyah secara permanen. Dalam rencananya tidak berniat akan mendirikan menara, akan tetapi KH. Yusuf Tauzirie menginginkan dibangunnya menara tersebut, akhirnya berdirilah bangunan masjid yang dilengkapi dengan sebuah menara tinggi, menara itu kurang lebih 20 M dan mempunyai 70 anak tangga. Menurut keterangan yang membuat gambar (arsitek) mesjid Cipari adalah Abikoesno Tjokrosujoro.

Hingga kini Madrasah Tsanawiyah tersebut sudah berkembang pesat dan bertambah menjadi pesantren sekaligus sekolah formal hingga Aliyah, pesatnya pertumbuhan sekolah tersebut dikarenakan akses yang mudah dan cepat ke Jawa Timur dan Jawa Barat sehingga memudahkan bagi masyarakat untuk mengetahui keberadaan Cipari dengan lintasan sejarahnya.

Artikel ini telah tayang di www.beritalangitan.com pada 11 Mei 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!