Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid ; “Pelibatan TNI Dalam Mengatasi Aksi Terorisme Sesuai Dengan UU No 34 Tahun 2004 Tentang TNI”
Indonesia Peace & Conflict Resolution Association (IPCRA), Ikatan Alumni Universitas Pertahanan (IKA UNHAN),
Pusat Studi Peperangan Asimetris (PUSPA) Bertajuk OMSP TNI dalam Penanggulangan Terorisme Dinilai Sudah Tepat
PORTALBELANEGARA.COM, Jakarta – Rektor Universitas Pertahanan (UNHAN), Laksamana Madya (Laksdya) TNI Dr. Amarulla Octavian menyatakan, berdasarkan perspektif akademis mengenai perubahan konsep kemanan nasional setelah peristiwa 9/11 dan dinamika lingkungan strategis, khususnya hukum internasional PBB. Maka, sebagai salah satu negara anggota PBB yang mematuhi resolusi PBB, tepat bagi Indonesia untuk mengesahkan UU No 5 tahun 2018 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, khususnya pasal 43I ayat (1), yang menyatakan, tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Hal itu ia sampaikan dalam acara Webinar Seri Keempat bertajuk “Operasi Militer Selain Perang (OMSP) TNI: Kontra Terorisme Dalam Perspektif Keamanan Nasional”, Selasa (22/9/2020), yang diselenggarakan oleh Indonesia Peace dan Conflict Resolution Association (IPCRA), Ikatan Alumni UNHAN, dan Pusat Studi Peperangan Asimetris (PUSPA).
Octavian menjelaskan, selain dasar hukum yaitu UU No 17 /1985, UU No 34/2004 dan UU No 5 tahun 2018, dalam perspektif TNI, aksi teror adalah sebagai salah satu bentuk OMSP dalam menghadapi peperangan asimetris dengan empat kriteria. Pertama, yaitu korban atau sasaran teror adalah pejabat negara, institusi sipil dan militer yang menjadi simbol negara. Kedua, senjata yang digunakan adalah senjata pemusnah massal, nuklir, gas beracun, bakteri atau virus. Ketiga, terjadi di lautan dan udara yang menjadi kedaulatan atau hak berdaulat Indonesia. Keempat, terjadi di kapal atau pesawat registrasi internasional berbendera Indonesia atau negara lain. Jika suatu aksi teror terindikasi memenuhi salah satu atau lebih empat kriteria tersebut, maka TNI sah demi hukum untuk bertindak mengatasinya. Hal penting lainnya, sinergitas TNI dan Polri sesuai amanat UU harus menjalin kerjasama dengan semua instansi dalam dan luar negeri.
“Dalam perspektif TNI, aksi teror adalah sebagai salah satu bentuk OMSP dalam menghadapi peperangan asimetris dengan empat kriteria. Pertama, yaitu korban atau sasaran teror adalah pejabat negara, institusi sipil dan militer yang menjadi simbol negara. Kedua, senjata yang digunakan adalah senjata pemusnah massal nuklir, gas beracun, bakteri atau virus. Ketiga, terjadi di lautan dan udara yang menjadi kedaulatan atau hak berdaulat Indonesia. Keempat, terjadi di Kapal atau pesawat registrasi internasional berbendera Indonesia atau negara lain. Jika suatu aksi teror terindikasi memenuhi salah satu atau lebih empat kriteria tersebut, maka TNI sah demi hukum untuk bertindak mengatasinya. Hal penting lainnya, sinergitas TNI dan Polri sesuai amanat UU harus menjalin kerjasama dengan semua instansi dalam dan luar negeri,” jelas Perwira Tinggi Bergelar Doktor ini.
Selaras dengan itu, Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid menuturkan, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme sesuai dengan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, serta aturan-aturan lainnya yang berlaku. Kita pernah melihat apa yang terjadi di Marawi, Filipina, tiga tahun silam, yang menunjukkan ancaman terorisme dapat berubah menjadi ancaman yang serius bagi keamanan dan pertahanan sebuah negara jika tidak ditangani dengan tepat dan efektif.
Selain itu, lanjut Meutya, perlibatan TNI dalam mengatasi terorisme di Indonesia sesungguhnya bukan hal yang baru, kita dapat melihat suksesnya operasi Satgas Tinombala yang berhasil melumpuhkan teroris Santoso. Pelibatan tentara dalam menghadapi terorisme juga berlaku di banyak negara lainnya. Oleh karena itu, Komisi I DPR RI melihat pentingnya peran serta TNI sebagai salah satu elemen bangsa dalam penanggulangan terorisme secara holistik di Indonesia. Namun, kami melihat juga pelibatan tersebut harus melalui mekanisme perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak kontra produktif dalam penanggulangan terorisme, serta dalam menjaga semangat reformasi dan iklim demokrasi di Indonesia.
“Pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme di Indonesia sesungguhnya bukan hal yang baru, kita dapat melihat suksesnya operasi Satgas Tinombala yang berhasil melumpuhkan teroris Santoso. Pelibatan tentara dalam menghadapi terorisme juga berlaku di banyak negara lainnya. Oleh karena itu, Komisi I DPR RI melihat pentingnya peran serta TNI sebagai salah satu elemen bangsa dalam penanggulangan terorisme secara holistik di Indonesia. Namun, kami melihat juga pelibatan tersebut harus melalui mekanisme perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak kontra produktif dalam penanggulangan terorisme, serta dalam menjaga semangat reformasi dan iklim demokrasi di Indonesia,” tuturnya kepada lebih dari seribu peserta Webminar.
Sementara itu, Duta Besar LBBP RI untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya menyatakan, faktor keberhasilan Selandia Baru dalam menangani aksi terorisme, yaitu penembakan di Christchurch, adalah kepemimpinan nasional yang kuat, karakter negara dengan orientasi bisnis, tingkat toleransi masyarakat yang tinggi, dan rasa kekitaan atau sense of togetherness pada masyarakat.
Lebih lanjut, Tantowi menyoroti faktor rasa kekitaan (sense of togethernes) yang ditunjukkan dengan adanya perlibatan semua unsur dalam mengatasi terorisme, termasuk otoritas pemerintah, yaitu kementerian, polisi dan angkatan bersenjata. Serta parlemen, media dan tokoh informal. Parlemen berhasil menagandemen UU kepemilikan senjata. Amandemen ini bersejarah karena selesai dalam waktu 28 hari. Selanjutnya, tokoh masyarakat, yaitu pemuka agama juga menghimbau umat beragama lainnya untuk bersama-sama menjaga masjid-masjid di sekitar lingkungan mereka. Hal ini dilakukan karena adanya rasa kekitaan yang kuat.
“Rasa kekitaan (sense of togethernes) juga ditunjukkan dengan adanya perlibatan semua unsur dalam mengatasi terorisme, termasuk otoritas pemerintah, yaitu kementerian, polisi dan angkatan bersenjata. Serta parlemen, media dan tokoh informal. Parlemen berhasil menagandemen UU kepemilikan senjata. Amandemen ini bersejarah karena selesai dalam waktu 28 hari. Selanjutnya, tokoh masyarakat, yaitu pemuka agama juga menghimbau umat beragama lainnya untuk bersama-sama menjaga masjid-masjid di sekitar lingkungan mereka. Hal ini dilakukan karena adanya rasa kekitaan yang kuat,” kata duta besar, yang merangkap Samoa dan Kerajaan Tonga, ini.
Sebagai penyelenggara Webminar, Ketua IPCRA, Bonar Nasution, mengatakan, OMSP TNI untuk mengatasi Terorisme sejalan dengan UU 34 tahun 2004 tentang TNI. Selain itu, perkembangan lingkungan strategis juga menunjukkan ancaman terorisme dapat bereskalasi mengancam kedaulatan suatu negara. Untuk itu, hal yang perlu diatur selanjutnya adalah ruang lingkup, durasi, dan akuntabilitas agar pelibatan TNI dapat efektif, efesien dan bersinergi dengan stakeholder lainnya.
Selain Rektor Unhan, Ketua Komisi I DPR RI, dan Duta Besar LBBP RI untuk Selandia Baru merangkap Samoa dan Kerajaan Tonga. Hadir pula sebagai narasumber Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis. Babinkum TNI, Brigjen TNI Edi Imran S.H, M.Si,.M.H, Guru Besar Studi Keamanan HI Unpad, Prof Dr, Arry Balnus. Kaprodi Kajian Terorisme SKSG UI, Muhammad Syauqillah, Ph.D. serta sebagai moderator Mahasiswa Doktor UNHAN, Kol.Tek B.D.O Siagian, M.Si (Han). (Red)