Dari Tegalgede ke Padasuka: Jejak Kebaikan KH. Parhanudin dalam Mengabdi Lewat Al-Qur’an


Garut || Di balik setiap lembaga pendidikan Islam yang kokoh berdiri, pasti ada kisah perjuangan panjang yang penuh peluh dan ujian. Begitu juga dengan Pesantren Riyyadul Qur’an Padasuka. Kp. Padasuka RT 03 RW 03 Desa Padasuka Cikajang, Kabupaten Garut yang kini dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan Qur’ani yang melahirkan generasi-generasi berakhlakul karimah dari berbagai daerah. Di baliknya, ada sosok ulama sederhana namun berkomitmen kuat terhadap dakwah, yakni KH. Parhanudin, S.Pd.I., atau yang akrab disapa Aceng Parhan.

Lahir dan besar di Tegal Gede, Aceng Parhan menapaki pendidikan keagamaannya dari pesantren ternama Pondok Pesantren Kudang, Limbangan. Di sinilah nilai-nilai awal keislaman yang kuat tertanam. Tahun 2008 menjadi momen penting, ketika perkenalannya dengan Kang Aceng Deni di Kudang membawa jejak langkahnya ke berbagai pertemuan berharga, termasuk dengan Aa Gym di Gegerkalong. Sosok Aa Gym bahkan sempat menunjukkan ketertarikan dan perhatian terhadapnya.
Namun dalam dinamika kehidupan rumah tangga dan dakwah, tidak semua berjalan mulus. Istri Aceng, seorang qori’ah nasional, sempat merasa tak betah tinggal di Gegerkalong maupun di kampung asalnya. Hingga akhirnya, atas izin Allah, mereka memutuskan pindah ke Padasuka, sebuah tempat yang sebelumnya hanya menjadi persinggahan ketika bersama Kang Aceng Deni.
Dengan modal keyakinan dan semangat dakwah, pasangan ini membeli rumah milik warga dengan harga Rp30 juta, meski sebelumnya pemilik rumah bersikeras meminta Rp55 juta. Keputusan ini pun diambil tanpa banyak tahu bagaimana kondisi lingkungan barunya. Namun inilah titik awal dari perubahan besar di Padasuka.
Awalnya, masjid di lingkungan tersebut masih biasa saja. Tapi semangat dakwah tidak mengenal tempat. Aceng mulai mengajar ngaji anak-anak sekitar yang ternyata antusiasnya luar biasa. Dari sinilah tumbuh benih harapan baru.
Bersama Ketua RW, muncul niat untuk membangun madrasah. Allah pun membuka jalan. Seorang dermawan (aghnia) di lingkungan tersebut bersedia membantu membeli tanah, yang kemudian diwakafkan secara resmi untuk madrasah. Keberadaan madrasah ini menjadi kunci istiqomah dakwah di Padasuka. Dari sana tumbuh kegiatan keislaman yang makin terstruktur dan kuat.
Tahun 2009-2010, nama Riyadhul Qur’an resmi diambil sesuai pesan dari guru beliau bahwa nama pesantren harus mencerminkan karakter santrinya. Nama ini kemudian menjadi identitas dari perjuangan panjang membumikan Al-Qur’an.
Sejak bergabung dengan Diniyah FKDT pada 2012, aktivitas pesantren makin terstruktur. KH. Parhanudin dan istrinya, yang juga seorang qori’ah nasional, terus membina santri. Tak hanya mengajar, tapi juga membentuk akhlak dan karakter Qur’ani.
Kini, Yayasan Riyyadul Qur’an Padasuka secara resmi menaungi pesantren tersebut, dengan lebih dari 200 santri dari berbagai wilayah seperti Garut, Cianjur, Tasik, hingga Bandung. Sistem pembelajaran yang diterapkan tetap memegang prinsip pesantren sederhana tapi penuh makna. Tarbiyah bil Qur’an menjadi pondasi utama.
Lingkungan yang dahulu dikenal berat dan penuh cobaan, kini berubah menjadi ladang amal dan pusat pendidikan. Bahkan disebut-sebut bahwa siapapun yang dulu mengelola masjid di Padasuka tidak pernah bertahan lama karena banyaknya godaan. Namun, dengan kesabaran dan istiqomah, KH. Parhanudin membuktikan bahwa jika niat karena Allah, maka semua rintangan akan terlewati.
Gesekan, kritik, hingga cibiran pun pernah datang, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Namun itu semua tidak menjadi alasan untuk berhenti. Sebaliknya, beliau menjadikan semua itu sebagai bahan bakar semangat untuk terus memperbaiki diri dan pesantren.
KH. Parhanudin bukan hanya ustadz dan pengasuh pesantren. Beliau juga dikenal luas sebagai juara MTQ tingkat kabupaten Garut, dan sering mewakili Garut hingga tingkat nasional, seperti saat mengikuti lomba qori di NTB. Undangan untuk melantunkan ayat suci datang dari berbagai daerah di Indonesia. Meski sudah dikenal luas, kesederhanaannya tidak pernah luntur.
Selain itu, beliau juga aktif dalam organisasi keagamaan seperti LPTQ dan Forum Kealumnian Pesantren, serta kerap hadir dalam berbagai acara keagamaan untuk menginspirasi para qori dan qori’ah muda.
KH. Parhanudin juga dikenal sebagai sosok yang memiliki jiwa kepedulian sosial yang tinggi. Berbagai kegiatan santunan bagi anak yatim, kaum dhuafa, hingga para jompo rutin ia lakukan, bukan hanya sebagai bentuk ibadah, tapi juga sebagai panggilan hati. Kepeduliannya yang tulus dan konsisten menjadikannya magnet positif di tengah masyarakat, memicu semangat para pemuda untuk turut terlibat dalam kegiatan sosial maupun keagamaan di bawah bimbingannya.
Dalam senyap, banyak cerita kecil yang menggambarkan betapa besar cinta beliau kepada umat. Bahkan ketika tidak ada kamera, Ceng Parhan tetap bergerak.
Di balik keteguhan dan kesederhanaannya, Ceng Parhan adalah magnet perubahan. Banyak pemuda kampung dikampungnya, kini ikut belajar mengaji dan berkhidmat di lingkungan pesantren yang sebelumnya terpinggirkan, kini merasa memiliki keluarga besar melalui keberadaan Pesantren Riyyadul Qur’an Padasuka.
Lebih dari sekadar mengajar dan membangun bangunan fisik, Ceng Parhan membangun karakter dan harapan. Ia melatih masyarakat untuk mandiri, menyemai nilai-nilai akhlak di tengah keterbatasan, dan meyakinkan bahwa keberkahan hidup tidak selalu datang dari banyaknya harta, tetapi dari niat baik dan amal yang terus mengalir.
Kini, Yayasan Riyyadul Qur’an Padasuka telah menjadi rumah bagi lebih dari 200 santri dari berbagai daerah seperti Garut, Cianjur, Tasikmalaya, hingga Bandung. Tapi lebih dari itu, pesantren ini telah menjadi mercusuar kehidupan tempat lahirnya generasi Qur’ani, tempat bertumbuhnya solidaritas sosial, dan tempat bertemunya ilmu, kasih sayang, serta keikhlasan.
KH. Parhanudin, S.Pd.I., bukan hanya mencetak hafiz dan qori, tapi juga mencetak manusia seutuhnya, yang peka pada sesama dan teguh pada nilai-nilai.
“Generasi nu nempel kana Al-Qur’an, insya Allah bakal kabawa agungna Qur’an. Tapi lamun leungit Qur’an tina hirupna, bakal leungit deui harga dirina,” ungkapnya.
Sebuah pesan sederhana, tapi mendalam dan dari situlah Ceng Parhan mengabdi, bukan hanya dengan kata, tapi dengan seluruh laku hidupnya.
Pesan ini bukan sekadar retorika, tapi cerminan dari kehidupannya sendiri, seorang hamba Allah yang tumbuh dalam pelita Al-Qur’an, dan kini menyalakannya untuk orang lain.
Kisah KH. Parhanudin, S.Pd.I., bukan sekadar tentang membangun pesantren. Ini adalah kisah tentang keyakinan, kesabaran, dan keberanian untuk mengambil jalan sunyi, mengubah tempat biasa menjadi luar biasa. Padasuka kini bukan hanya tempat, tapi pusat cahaya yang terus menyinari generasi dengan nilai-nilai Qur’ani.
Semoga kisah beliau menjadi motivasi bagi siapa pun yang sedang berjuang dalam sunyi, yang sedang membangun dalam kesempitan, dan yang sedang menyalakan cahaya di tengah kegelapan.
Ditulis oleh : Cepi Gantina