Hilangnya Fungsi Qowwamah, Dalam Keluarga Muslim.

Penulis : @Ayah_Andriansyah, S. Pd
PORTALBELANEGARA.COM | Setiap insan pasti mendambakan kehidupan keluarga yang harmonis, sakinah mawaddah wa rahmah, penuh ketenangan dan kasih sayang antar anggota keluarga. Namun kini, harapan itu kian sulit diwujudkan. Realitasnya, banyak kehidupan keluarga yang berantakan dan penuh kebencian, jauh dari ketenangan. Tidak sedikit pula yang justru gagal mempertahankan biduk rumah tangganya, dan berakhir dengan perceraian.
Ditambah lagi dengan kesempitan hidup dan kemiskinan sistemik akibat penerapan sistem ekonomi kapitalistik liberal, menjadikan kehidupan keluarga yang tenang, harmonis dan sejahtera seolah hanya mimpi. Bahkan tidak sedikit istri, perempuan yang kesulitan mendapatkan rasa aman di rumah mereka, lantaran kasus kekerasan suami terhadap istri bahkan berakibat pada hilangnya nyawa.
Beberapa waktu terakhir, marak diberitakan seorang suami yang diduga depresi karena problem ekonomi, telah tega membunuh istrinya dan memutilasinya menjadi beberapa bagian. Sementara lagi ada seorang suami tega membunuh istrinya yang baru sebulan melahirkan, karena cemburu, setelah sang istri mengigau menyebut nama laki-laki lain.
Dan diberitakan pula, seorang istri ditawan selama 15 jam di mobil debt collector karena suaminya menghilang setelah terjerat hutang bisnis sebesar 200 juta.
Itu hanya beberapa contoh kasus tentang tindak kekerasan dan kezaliman yang menimpa istri, yang umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi. Dan mirisnya, pelakunya adalah suaminya sendiri yang harusnya menjadi pemimpin dan pelindung bagi istri dan keluarganya.
Ummat ini tampaknya sedang sakit. Masyarakatnya banyak yang mengalami stres dan depresi akibat tekanan hidup yang kian berat. Maraknya kriminalitas, percobaan bunuh diri, serta berbagai bentuk kejahatan lainnya, menjadi bukti tak terbantahkan tentang sakitnya ummat ini. Termasuk kasus kekerasan, penganiayaan bahkan pembunuhan suami terhadap istrinya sendiri.
Rumah yang idealnya menjadi tempat paling aman bagi istri dan keluarga, realitasnya jauh panggang dari api. Suami yang seharusnya menjadi pemimpin sekaligus pelindung bagi istri dan keluarganya, justru berubah menjadi ancaman tersendiri bagi keluarganya. Fungsi qawwamah sang suami benar-benar di ujung tanduk, nyaris hilang terkikis oleh sistem kehidupan yang rusak.
Benar, harus diakui bahwa kini fungsi qawwamah suami kian melemah bahkan nyaris hilang. Dan jika kita dalami, akan didapati bahwa keadaan tersebut berakar pada kehidupan masyarakat yang kian sekuler liberal, jauh dari tuntunan syariat. Akidah sekularisme memang mengerdilkan peran agama dalam kehidupan. Praktiknya, agama diadopsi hanya sebatas ibadah ritual, namun tidak dilibatkan dalam menata kehidupan sehari-hari.
Hidup dengan sikap takwa seolah hanya pilihan bagi yang mau saja. Sedangkan yang enggan, ia bebas berpikir, berpendapat dan berbuat apapun sesuai hawa nafsunya. Visi hidup untuk ibadah tidak dipahami dengan benar. Konsep rezeki dalam jaminan Allah pun tidak diyakini seutuhnya. Sabar dalam ketaatan makin sulit terwujud. Ummat yang rapuh imannya seperti ini, tentu cenderung mudah stres dan mudah melakukan berbagai kejahatan di luar kendali akal sehatnya, termasuk kekerasan dan kejahatan suami terhadap istrinya sendiri.
Namun problem ini tidak berhenti pada hilangnya fungsi qawwamah. Di sisi lain, peran ummun wa rabbatul bait pada diri para istri juga makin tergerus. Tuntutan untuk menjadi tulang punggung keluarga membuat tenaga dan pikiran seorang ibu habis di luar rumah. Akibatnya, ia absen dalam peran utamanya sebagai pendamping anak-anak dan manajer utama rumah tangga.
Padahal, ibu adalah tempat bersandar seluruh anggota keluarga. Ayah yang lelah bekerja seharusnya menemukan ketenangan ketika pulang kepada istrinya. Anak-anak pun membutuhkan kelembutan seorang ibu sebagai bekal perjalanan hidup mereka. Namun ketika fungsi ini hilang, keluarga pun kehilangan pondasinya.
Dalam kondisi demikian, ketaatan para istri juga mudah luntur. Sebagian merasa bahwa karena merekalah yang menyokong ekonomi keluarga, mereka tidak lagi terikat pada kepemimpinan suami. Celah inilah yang juga memicu konflik hingga kekerasan rumah tangga. Bahkan istri yang tidak bekerja pun tetap rentan, karena tuntutan hidup yang besar bisa membuat suami stres dan melampiaskan dengan cara yang tidak dibenarkan agama.
Ini Bukan Problem Individu, Melainkan Sistemis.
Realitas menyedihkan ini sejatinya bukan muncul dari pribadi suami atau istri semata, melainkan dari sistem kehidupan yang menaungi mereka. Kapitalisme telah menciptakan situasi sulit bagi ayah untuk bekerja layak, tetapi sekaligus mendorong perempuan untuk keluar rumah sebagai tenaga kerja murah. Upah perempuan yang lebih rendah membuktikan bahwa mereka diposisikan sebagai buruh yang menguntungkan industri, bukan sebagai pilar keluarga.
Feminisme sekular juga turut menciptakan paradigma bahwa perempuan baru dianggap “bernilai” jika bekerja di ruang publik. Semua ini berangkat dari sudut pandang yang jauh dari agama. Maka tidak heran jika ayah dan ibu akhirnya tidak mengenal aturan ilahi dalam mengelola rumah tangga. Dampaknya? Kekerasan rumah tangga makin marak dan menjadi lingkaran tak berujung.
Islam Menyelesaikan Akar Masalah Kekerasan Rumah Tangga, hingga perceraian. Islam hadir bukan hanya sebagai tuntunan personal, tetapi sebagai sistem kehidupan yang paripurna. Setidaknya ada dua aspek penting yang mampu menyelesaikan persoalan ini :
Pertama : Mengembalikan Fungsi Qawwamah yang Sejati, Allah SWT dalam Al-Qur’an telah menegaskan :
“Ar-rijalu qawwamuna ‘alan-nisa”
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.” (QS. An-Nisa: 34)
Kepemimpinan ini bukan bentuk dominasi atau kontrol sepihak, melainkan kepemimpinan yang melayani, menafkahi, melindungi, dan memastikan seluruh kebutuhan keluarga terpenuhi. Jika seorang suami melaksanakan qawwamah dengan benar, istri dan anak-anak akan tumbuh dalam penghormatan dan ketaatan. Inilah benteng yang menjauhkan keluarga dari tragedi kekerasan dalam rumah tangga.
Kedua : Menerapkan dan menjalankan Syariat Islam
Kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi fenomena, kronologis atau persoalan moral individu ia adalah konsekuensi dari sistem sekuler kapitalistik. Karena itu, solusi sejatinya harus sistemis pula.
Sistem ekonomi Islam menjamin laki-laki sebagai pencari nafkah utama, sedangkan perempuan dikembalikan kepada peran mulianya dalam pengasuhan.
Membangun sistem pendidikan Islam sebagai upaya membentuk kepribadian yang bertakwa sejak kecil, sehingga anak-anak tumbuh mampu mengemban peran qawwamah dan ummun wa rabbatul bait.
Sistem pergaulan, media, dan peradilan Islam akan menjaga kehormatan dan ketertiban sosial, mengarahkan keluarga agar hidup sesuai fitrah.
Ketika Islam diterapkan secara sempurna, keberkahan akan memancar keseluruh lapisan Ummat. Kekerasan dalam rumah tangga, masalah rumah tangga berkurang drastis, dan keluarga kembali menjadi tempat paling aman untuk pulang.
Sungguh menyedihkan melihat ayah dan suami yang kehilangan fungsi qawwamah, hingga banyak istri dan anak menjadi korban pengabaian maupun kekerasan. Beban ekonomi, gaya hidup buruk, dan jauhnya keluarga dari agama telah meruntuhkan keharmonisan rumah tangga. Namun semua ini hanya bisa benar-benar selesai ketika ummat kembali kepada sistem Islam yang menyeluruh.
Semoga Allah mengembalikan keluarga-keluarga kita kepada nilai-nilai ketakwaan, memperkuat fungsi para ayah sebagai pemimpin yang amanah, dan menguatkan para ibu sebagai penjaga peradaban. Hingga tegaklah keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Aamiin ya Rabbal ‘Alamin.
Oleh karena itu perlu adanya perjuangan dakwah Islam yang diemban secara berjamaah dan terarah menuju “Baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.” Negeri yang baik (nyaman), sedangkan (Tuhanmu) Tuhan Yang Maha Pengampun.” Wallahu a’lam bishshawab

